Sejarah Filsafat
Dalam salah satu sesi sekolah filsafat untuk para dosen
beberapa waktu yang lalu, terdapat pembicaraan yang berkisar tentang
sejarah lahirnya filsafat di Yunani. Dibicarakan pula asal usul terjadinya kategorisasi
ilmu yang berkembang saat ini. Namun tulisan kali ini hanya menggambarkan satu
fokus kecil yang menarik perhatian saya, yaitu pada kepercayaan kita yang amat
sangat bahwa filsafat berakar dari peradaban Yunani. Kemarin sempat tercetus
kalimat, “Setiap peradaban memiliki kebijaksanaan dan pemikiran sendiri, namun
Yunani merupakan peradaban yang banyak menuliskan hasil pemikirannya,
sehingga saat ini filsafat yang berkembang adalah filsafat yang berasal dari
bangsa Yunani”. Is it true? Does philosophy really take its roots from
Greek? Before Greek, is the world really empty of empirical thoughts? Well,
let’s see then ^_^
Greek, as we
‘know’ all this time, was ‘the Cradle of Western Civilization’, buaian atau
ayunan (ungkapan lain dari tempat kelahiran) bagi peradaban keilmuan Barat (you
can check this out in Microsoft Encarta ^_^). Ungkapan ini sebenarnya
lahir sebagai perlambang bagi supremasi peradaban Barat yang tidak hendak
mengakui adanya sumbangsih peradaban lain dalam asal-usul peradaban dan
filsafat Barat. Filsafat dianggap lahir begitu saja di Yunani disebabkan
kecerdasan alami bangsa Yunani yang sangat tinggi, tanpa campur tangan
peradaban lain yang jauh lebih tua, misalnya Mesopotamia dan Mesir, dua
peradaban dengan rentang waktu jauh lebih panjang dan berusia sangat tua, yang
terletak sangat dekat dengan Yunani (hanya dibatasi oleh Laut Tengah atau
Mediterania).
Sebenarnya
pandangan ini tidak memiliki dasar keilmuan yang kuat, atau melalui
penelitian mendalam dengan berpegang pada asas obyektivitas. Walaupun begitu,
karena dianggap sesuai dengan visi misi peradaban Barat yang berkembang
kemudian, akhirnya pendapat ini menjadi populer, bahkan di dunia Timur saat
ini. Barat mencoba menghapus utang budi dari dunia Timur dengan menyatakan
bahwa tradisi keilmuan dan filsafat lahir pertama kali di Yunani melalui
Thales, Plato, Socrates dan Aristoteles-nya. Yunani dianggap memiliki sangat
banyak faktor internal, seperti keindahan alam, kebaikan iklim dan kecerdasan
manusia, yang mengakibatkan timbulnya filsafat dengan tiba-tiba pada masa
Thales, di dalam sebuah peradaban yang berusia jauh lebih singkat daripada
peradaban Mesir dan Mesopotamia ini. Sebelum peradaban Yunani, pemikiran
rasional dan penyelidikan teratur terhadap alam semesta tidak dikenal di dunia.
Peradaban Yunani memberikan sumbangan peradaban terbesar dalam hal pemikiran
rasional dan penelitian ilmiah bagi peradaban-peradaban lain yang ‘kurang’
maju. Pandangan-pandangan semacam inilah yang sangat mempengaruhi dunia
keilmuan sejak dulu hingga saat ini. T_T
Walaupun demikian, ternyata tidak
sedikit kalangan ilmuwan dari Barat sendiri yang tidak sependapat dengan hal
ini. Paparan ini saya kutip secara bebas dari tulisan salah
satu staf pengajar kuliyah sains di International Islamic University of
Malaysia (IIUM), Adi Setia, Ph.D, di dalam salah satu Jurnal Islamia
yang saya baca baru-baru ini. Judul tulisan itu adalah ”Melacak Ulang Asal-usul
Filsafat dan Sains Yunani Kuno”. Berikut ini adalah paparan singkatnya.
Benjamin Schwartz
dalam bukunya ”The World of Thought in Ancient China”menyimpulkan
bahwa Yunani tidak dapat dikatakan mengawali pemikiran rasional dan logika,
karena hal serupa dapat ditemui dalam sejarah intelektual China pada sekitar
zaman yang sama. Hal ini menjadi sangat masuk akal, mengingat terkenalnya The
Silk Road di masa lalu, yang merupakan jalur perdagangan yang
menghubungkan China, Mesir hingga Eropa. Tentu saja dalam hal ini tidak hanya
barang dagangan yang dipertukarkan, namun juga kebudayaan, tradisi-tradisi
keilmuan dan pengetahuan masing-masing peradaban. Sebagai intermezzo, kita juga
telah sangat memahami, bahwa tradisi minum teh yang sangat terkenal di Jepang
hingga saat ini sebenarnya mereka pelajari dari bangsa China.
Karena itu, Adi Setia
memaparkan, bahwa penguasaan intelektual, politik dan ekonomi
Eropa dalam sejarah dunia modern hanya bisa dijelaskan secara rasional dan
tepat apabila dirujukkan kepada pengaruh antar benua (intercontinental
influences) yang menjalar dari perkembangan tertentu dalam
peradaban-peradaban bertetangga, bukan akibat unsur-unsur internal semata.
Prof. George GM. James dalam
bukunya ”Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy” memaparkan
tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras, Socrates, Plato dan
sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya meminjam buah pikiran para
paderi dan pendeta Mesir. Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya
buah pikiran itu dibawa ke Yunani dan ditulis kembali secara besar-besaran
dalam bahasa Yunani, tanpa menyatakan sumber asalnya secara terus-terang dan
terperinci. Kita tentu telah mengetahui bahwa tradisi mencantumkan sumber
secara terperinci baru berkembang setelah ulama-ulama Muslim dengan sangat
hati-hati dan teliti mencantumkan seluruh narasumber dan sanad dari setiap
hadits yang dituliskan. Dalam bukunya ini, Prof. James bahkan meringkas seluruh
doktrin dalam filsafat Yunani yang setelah ditelusuri asal-usulnya, terdapat
dalam batu prasasti Teologi Memphis dari abad ke-4 SM, jauh sebelum kelahiran
Thales dan filsuf semasanya.
Selain itu,
Martin Bernal dalam bukunya Black Athena, menyelidiki jalinan
kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara peradaban Semit
(Yahudi), Yunani dan Mesir. Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa
Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir.
Peradaban Yunani juga banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia,
akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu.
Sementara itu,
George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya
telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia,
maka pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati
yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Sarton menyatakan bahwa sains Yunani
sebenarnya lebih merupakan suatu ’pemulihan’ daripada ’penciptaan’.
Lebih jauh,
melalui pengamatan akan kaidah sejarah peradaban dunia secara menyeluruh, dapat
kita ambil suatu pelajaran bahwa kemunculan-kemunculan filsafat dan sains di
dalam setiap peradaban hanya dapat terjadi melalui suatu kesinambungan intelektual
(intellectual continuity) dalam rentang masa yang panjang.
Konsekuensinya, tradisi pengalaman amaliah (empiris) sebagai dasar pemikiran
spekulatif Thales semestinya sudah ada dalam waktu yang cukup lama. Namun,
sejarah mencatat bahwa zaman sebelum Thales adalah the Dark Ages of the
Greeks yang dipenuhi dengan berbagai bencana alam dan penjajahan. Hal
ini berkebalikan dengan iklim keilmuan yang berkembang dalam peradaban Mesir
dan Mesopotamia selama berabad-abad yang membuktikan adanya benang merah tradisi
amaliah yang memungkinkan mereka merenungi pencapaian amaliah mereka demi
mentajridkan prinsip-prinsip umum sebagai asas disiplin akliah seperti
geometri, ilmu hisab, ilmu falak dan pengobatan. Sebaliknya, jika peradaban
Yunani memang murni berasal dari bangsa Yunani sendiri, maka pencapaian amaliah
apa pada masa kegelapan Yunani, yang dapat direnungi oleh Thales?
Sebagai kesimpulan,
peradaban-peradaban dunia, baik itu peradaban Yunani, Islam, Kristen, Barat dan
Modern sebenarnya memiliki dua faktor dasar yang mempengaruhi perkembangannya,
yaitu faktor internal yang menyebabkan perkembangan internal dan faktor
eksternal yang mendasari perkembangan eksternalnya. Dalam peradaban Yunani,
worldview Yunani Kuno dibentuk melalui penggabungan unsur-unsur asli Indo-Eropa
dan unsur-unsur non-Eropa, yaitu Mesir dan Funesia yang pernah menjajahnya. Hal
ini dilanjutkan dengan masa kegelapan yang baru pulih sekitar tahun 700 SM,
saat hubungan dengan Mesir dan Babilonia diperbaharui. Bangsa Yunani banyak
marantau dan menyerap ciri-ciri kebudayaan Mesir-Babilonia yang sedikit banyak
mengakibatkan pemikiran Yunani menjadi lebih rasional. Sampai pada masa Thales,
pemikiran rasional bangsa Yunani telah cukup matang untuk dapat menghargai
nilai pencapaian pemikiran rasional dalam peradaban-peradaban kuno yang
bertetangga dengannya dan jauh lebih maju dalam pencapaian filsafat dan sains,
termasuk juga pencapaian teknologi.*
0 komentar on Sejarah Fisafat :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !