HAK DALAM ISLAM
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu :
Tubagus Surur , M.Ag
Disusun Oleh :
Lesdah Agus Muhajirin 202309129
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
TAHUN AKADEMIK 2012
A.
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tidak hanya diperintahkan untuk
beribadah kepada Allah semata. Dalam pada itu, manusia juga diberikan tugas
oleh Allah SWT untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan hidupnya di
muka bumi. Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat sebuah
sistem yang berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk
memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din
Islam.
Agama
Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sistem ini tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah SWT,
atau yang sering disebut hubungan vertikal. Namun, lebih dari itu agama islam
sebagai sebuah sistem juga mengatur hubungan antar sesama manusia dan seluruh
ciptaan Allah SWT, misalnya tumbuhan dan hewan.
Dalam Islam, hubungan
antar sesama manusia(hubungan horizontal) di bahas dalam ilmu fiqh ( baca :
fiqh muamalat ). Contohnya, tentang konsep hak dalam islam. Para ulama fiqh
berbeda pendapat dalam mendefenisikan kata hak . Menurut Ali al-khafif
hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara, sedangkan Mustafa
Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa hak dalah suatu kekhususan yang padanya (hak
kekhususan tersebut ) ditetapkan oleh syara’ sebagi suatu kekuasaan. Adapun
perbedaan timbul disebabkan oleh pemahaman mereka dalam menafsirkan nash–yang
berhubungan dengan hak–berlainan.
Pembahasan seputar
konsep hak dalam Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang
kepemilikan, ketetapan atau kekuasaan terhadap harta ataupun bukan harta.
Dari pernyataan tersebut timbul dua pertanyaan, pertama apakah benar bahwa hak
hanya terbatas pada kekuasaan, kepemilikan atau kekuasaan terhadap sesuatu?
Kedua, siapakah sebenarnya pemilik dari hak itu sendiri ?
B. PEMBAHASAN
A. Asal-usul terciptanya hak
Sebelum manusia memulai untuk hidup berdampingan dengan sesamanya
atau hidup bermasayarakat dan sebelum tercipitanya hubungan antara seseorang
dengan orang yang lain, mungkin kita tidak akan pernah mendengar apa yang
dinamakan dengan hak.
Setiap manusia yang hidup secara bermasyarakat pasti akan
bertolong-menolong dalam menghadapi berbagai macam kegiatan. Kegiatan
tersebut bertujuan untuk memenuhi kepentingan/kepentingan individu
masing-masing, atau bahkan masyarakat. Dalam pada itu, untuk memenuhi
kepentingan/kebutuhan, seseorang bisa mendapatkannya dari alam secara langsung
atau bahkan dari milik orang lain. Ketika seseorang sudah bersinggungan
dengan milik orang lain, maka boleh jadi akan timbul
pertentangan-pertentangan kehendak yang dapat berujung pada pertikainan kedua
belah pihak. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada suatu
peraturan yang mengatur batas-batas kepentingan seseorang di dalam hidup
bermasayrakat. Artinya, peraturan itu ada agar seseorang mengetahui
apa yang menjadi hak-nya dan sebaliknya, sehingga ia tidak akan melanggar
hak orang lain.
B.
Pengertian hak
Hak dalam pengertian umum adalah suatu ketentuan yang dengan dia ( hak ) syara’
menetapkan suatu kekuasaan atau suatu kebebasan ( hukum ).
Secara etimologipengertian yang bersumber al-qur’an hak dapat berarti
menetapkan, keadilanlawan dari kezaliman, kebenaranlawan dari kebatilan,
kewajiban,bagian dan kepastian. Hal ini firman-firman Allah SWT, diantaranya:
“Agar Allah menetapkan yang
hak ( islam ) dan membatalkan yang batil( syirik )…”
{QS
: Al-anfal : 8}
“ Dan Allah menghukum dengan adil…”
{QS. Al-Mu’min : 20}
“Katakanlah yang benar
telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah
sesuatu yang pasti lenyap.”{QS. Al-Israa : 81}
“ Kepada
wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut’ah ( pemberian sebagai penghibur , pesangon )
menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang
bertaqwa.” {QS. Al-Baqarah : 241}
“Dan orang-orang
yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,bagi orang (miskin)
yag meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa(yang tidak mau meminta)” {QS.
Al-Ma”arij : 24-25}
“Sesungguhnya
telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap
kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman” {QS. Yasiin : 7}
Kemudian hak secara terminologi adalah
sebagai berikut :
Ø Menurut Syekh abd. Hakim Al-Lukman
dari Mazb. Hanafi hak adalah :
“Hukum yang tetap berdasarkan syara”
Ø Menurut Syekh ali Al-Khafif, hak adalah :
“Kemaslahatan yang diperoleh secara syara”
Ø Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa’, hak
adalah :
“Kekhususan yang ditetapkan oleh syara’ dalam bentuk kekuasaan”
Ø Menurut Ibnu Nujam,Ahli Fiqh Mazhb.Hanafi,
hak adalah :
“Kekhususan
yang terlindungi”
Ø Sedangkan menurut ulama fiqh hak merupakan
hubungan spesifik antara pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak
itu sendiri. hubungan itu dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah yang bersumber dari alam dan akal
manusia. Sumber hak adalah Allah karena Allah-lah yang membuat syariat, UU dan
hak atas manusia dan seluruh alam. Oleh sebab itu, hak selalu terkait dengan
kehendak Allah dan merupakan anugerahnya. Hal tersebut hanya bisa
diketahui dari sumber-sumber hukum islam Al-Quran As-Sunah. Firman Allah SWT :
“Dan
berikanlah kepada keluarga yang dekat akan hak-nya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara
boros.” {QS. Al-Israa : 26}
C. Rukun-rukun hak
I. Pemilik
hak
Dalam pandangan islam yang menjadi pemilik hak
adalah Allah SWT, baik yang menyangkut hak keagamaan, pribadi atau hak secara
hukum. Dalam fiqh disebut Asy-syakhsyiah al ‘itibaniyah
II.
Objek hak
Menurut
para ulama fiqh rukun hak tersebut di bagi menjadi dua,yaitu pemilik hak (orang
yang memiliki hak) dan objek hak (baik merupakan sesuatu yang bersifat materi
ataupun hutang). Pemilik hak adalah Allah swt mengenai semua hal yang
menyangkut hak-hak keagamaan,pribadi ataupun hukum.
Hak ada kalanya merupakan sulthah, adakalnya merupakan taklif.
a)
Sulthah terbagi menjadi dua, yaitu
: Sulthah ‘ala al nafsi : hak seseorang terhadap jiwa. Sulthah ‘ala syai’in
mu’ayan : hak manusia untuk memiliki sesuatu.
b)
Taklif adalah orang yang
bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi ( ‘adah syakhsyiyah ),
adakalnya tanggungan harta ( ahdah maliyah ).
D. Macam-macam hak
Dari segi
pemilik hak
1.
Hak Allah SWT, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah. Seperti, melalui berbagai macam ibadah, jihad, amar ma’ruf nahi
munkar. Hak Allah merupakan kewajiban bagi manusia dan hak tersebut tidak
boleh menggugurkan dengan memanfaatkan atau berdamai dan bahkan tidak boleh
mengubahnya. Contoh : pasangan berzina atas dasar suka sama suka, tetap harus
dihukum.
2.
Hak manusia, dengan hakikat untuk memelihara kemaslahatan pribadi manusia.
Hukuman yang berhubungan dengan hak manusia antara lain adalah pemilik
diperbolehkan melepaskan hak-nya dengan cara pemaafan, perdamaian atau
membebaskan tanggunan atas seseorang. Hak ini terbagi menjadi 2
sifat :
a.
Umum : menyangkut kemaslahatan
orang banyak misalnya menjaga ketertiban dan memelihara sarana umum.
b.
Khusus : menyangkut individu masing – masing misalnya hak istri mendapat
nafkah dari suaminya.
Dalam pada itu, hak manusia
ada yang dapat digugurkan dan ada yang tidak dapat digugurkan :
a.
Hak manusia yang dapat
digugurkan, pada dasarnya adalah seluruh hak yang berkaitan dengan pribadi
bukan yang berkaitan dengan harta benda (materi). Misalnya, hak qishash,
hak syuf’ah dan hak khiyar. Pengguguran hak ini dapat dilakukan
dengan membayar ganti rugi, atau tanpa ganti rugi.
b. Hak manusia yang tidak dapat digugurkan
adalah sebagai berikut :
i. Hak yang belum tetap, seperti hak suami
atas nafkah yang akan datang, hak khiyar pembeli sebelum melihat barang
(objek) yang dibeli, atau hak syuf’ah bagi penerima syuf’ah
sebelum terjadi jual beli.
ii. Hak yang dimiliki
seseorang secara pasti berdasarkan atas ketetapan syara’.
Seperti ayah atau kakek
menggugurkan hak mereka untuk menjadi wali dari anak yang masih kecil, atau hak
wakaf atas benda yang diwakafkan, karena hak wakaf itu berasal dari miliknya.
iii. Hak-hak, yang apabila digugurkan akan berakibat
berubahnya hokum-hukum syara’, seperti suami mengugurkan haknya untuk kembali
(rujuk) kepada istrinya dan seseorang menggugurkan hak pemilikanya terhadap
suatu benda(mengugurkan hak hibah dan wasiat).
iv. Hak-hak, yang didalamnya terdapat hak orang lain. Seperti ibu menggugurkan
haknya dalam mengasuh anak, suami mengugurkan iddah isteri yang
ditalaknya, orang yang dicuri hartanya mengugurkan hak hukuman potong tangan
bagi si pencuri. Hal-hal diatas muncul disebabkan semua hak tersebut
berserikat (gabungan). Apabila ada orang yang menggugurkan haknya, maka
tidak dibenarkan ia mengugurkan hak orang lain
c.
Hak berserikat, yaitu gabungan antara hak Allah dan hak manusia misalnya
kasus Qishash, hak Allah berupa pencegahan bagi masyarakat dalam tindak pidana
membunuh agar menjadi contoh bagi masyarakat untuk tidak membunuh serta
memberikan efek jera kepada pelaku. Sedangkan hak manusia sebagai penawar
kemarahannya dengan menghukum sang pembunuh.
Dari segi objek hak :
- Al-Haq Al-Maali : Hak yang berhubungan
dengan harta seperti hak pembeli terhadap barang yang dibeli.
- Al-Haq
Ghairu Al-Maali :
Hak yang tidak terkait dengan harta benda. Seperti hak wanita dalam
talak karena tidak diberi nafkah oleh suami dan hak cipta bagi pengarang
sebuah buku.
- Al-Haq
Al-Syakhshu :
Hak yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap
orang lain, misalnya hak seseorang tinggal diatas rumah orang lain dan hak
anak untuk dibiayai yang kemudian menjadi kewajiban bagi orang tuanya.
- Al-Haq
Al-'Ainu :
Hak yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat untuk dimanfaatkan .
seperti pemanfaatan barang jaminan utang dan sewa-menyewa.
- Al-Haq
Al-Mujarradu : hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila
digugurkan melalui perdamaian misalnya pemberi utang yang tidak menuntut
pengembalian hutang tersebut.
- Al-Haq
Ghairu Al-Mujarradu : yang
apabila digugurkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan seperti
ahli waris terbunuh memaafkan pembunuh maka pembunuh menjadi haram dibunuh
karena telah dimaafkan.
Dari segi kewenangan
terhadap hak tersebut
- Al-Haq
Al-Diyaani :
Hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan hakim seperti persoalan
hutang yang tidak dapat diselesaikan di pangadilan akan tetapi ditunut di
hadapah Allah dan hati nurani sendiri.
- Al-Haq
Al-Qadhaai :
Seluruh hak dibawah kekuasan pengadilan dan dapat dibuktikan didepan
hakim.
Di samping itu para ulama fiqh
juga membagi hak dalam pewarisan ( hak pewarisan ), yaitu :
- Hak-hak
yang dapat diwariskan, yaitu hak-hak yang dimaksudkan sebagai suatu
jaminan atau kepercayaan, seperti hak menahan harta yang dijadikan jaminan
utang, menahan barang yang dijual sampai dibayarkan oleh pembelinya.
- Hak-hak
yang tidak dapat diwariskan, dalam hak ini ulama fiqh berbeda pendapat.
Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa hak dan manfaat tidak dapat diwariskan,
karena yang dapat diwariskan hanya materi ( harta benda ) saja, sedangkan
hak manfaat tidak termasuk materi. Sedangkan Jumhur ulama fiqh
berpendapat, bahwa warisan itu tidak hanya materi saja, akan tetapi hak
dan manfaat juga mempunyai nilai yang sama dengan harta benda.
E. Sumber dan sebab hak
- Syara’
- Syara’ tanpa sebab, contoh perintah melaksanakan
ibadah.
- Syara’ melalui sebab, contoh perkawinan
memunculkan hak dan kewajiban memberi nafkah.
- Akad, seperti dalam jual beli
- Kehendak pribadi, seperti janji
- Perbuatan
yang bermanfaat, seperti melunasi utang orang lain
- Perbuatan
yang menimbulkan mudarat bagi orang lain, contohnya Amir mewajibkan ganti
rugi akibat kelalaian budi menggunakan jam tangannya.
F.
Akibat hukum suatu hak
- Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak : Para pemilik hak harus melaksanakan hak-nya itu dengan
cara yang sesuai dengan syariah. Menurut ulama fiqh yang terpenting adalah
sifat keadilan dalam mengembalikan hak sehingga masing-masing pihak tidak
ada yang merasa dirugikan. Atas dasar keadilan ini, syariat islam
menganjurkan agar pemilik hak berlapang hati dalam menerima atau menuntut
hak-nya itu. Terlebih ketika hak tersebut diambil oleh orang yang sedang
mengalami kesulitan ( miskin, susah ).
Hal ini sesuai dengan
firman Allah :
“ Jika ( orang-orang yang
berhutang itu ) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan
dan menyedekahkan ( sebagian atau semua utang )itu lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” {
QS; Al-Baqarah : 280}
- Menyangkut pemeliharaan hak : Ulama fiqh
menyatakan bahwa syariat islam telah menetapkan agar setiap orang berhak
untuk memulihkan atau menjaga hak-nya dari segala bentuk kesewenangan
orang lain.
- Menyangkut penggunaan hak : Dalam ajaran Islam setiap orang tidak
diperbolehkan sewenang-wenang dalam menggunakan hak-nya yang dapat
menimbulkan kemudaratan bagi orang lain. Oleh sebab itu, penggunaan hak dalam
islam tidak bersifat mutlak, melainkan ada pembatasannya. Ulama
fiqh berpendapat bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang
disyariatkan oleh islam. Atas dasar ini seseorang tidak diperbolehkan
menggunakan haknya, bila penggunaan hak-nya itu dapat merugikan atau
memudaratkan orang lain– baik perorangan, masyarakat, baik sengaja atau
tidak sengaja.
Misalnya,a) pemilik hak tidak diperbolehkan menggunakan hak-nya
secara berlebih-lebihan. Sebab, dalam fiqh perbuatan itu termasuk
sewenang-wenang dalam penggunaan hak , yang
tidak dibenarkan oleh syariat.
Sejalan dengan itu
penggunaan hak pribadi tidak hanya terbatas untuk kepentingan pemilik hak,
melainkan penggunaan hak pribadi harus dapat mendukung hak masyarakat. Ini terjadi karena kekayaan seseorang
tidak terlepas dari bantuan orang lain. Bahkan dalam hal-hal tertentu hak
pribadi diperbolehkan untuk diambil atau dikurangi untuk membantu hak
masyarakat.
G. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kesewenangan
dalam penggunaan hak
- Maksud
membuat kemudaratan : Jika seseorang dalam menggunakan
haknya menimbulkan kemudaratan bagi orang lain, maka perbuatan tersebut
merupakan kesewenangan dan hukumnya haram.
- Melaksanakan suatu tindakan yang tidak
disyariatkan : Jika
seseorang dalam penggunaan hak-nya tidak didasari syariat dan tidak sesuai
dengan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak tersebut, maka
tindakan itu haram hukumnya dan harus dicegah.
- Munculya kemudaratan yang besar ketika
menggunakan hak untuk mecapai suatu kemaslahatan : Jika pemilik hak menggunakan hak-nya
untuk memperoleh kemaslahatan pribadinya, akan tetapi penggunaan hak itu
menimbulkan kemudaratan yang lebih besar bagi orang lain, maka tindakan
itu harus dicegah. Hal ini, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW : “ Tidak boleh memudharatkan dan tidak
boleh pula dimudharatkan.”
- Penggunaan
hak tidak pada tempatnya dam memunculkan kemudaratan bagi orang lain :
Jika seseorang
dalam menggunakan hak-nya tidak pada tempatnya, bertentangan dengan adat
kebiasaaan atau membawa mudarat bagi orang lain, maka tindakan tersebut
harus dicegah dan dilarang.
- Mengunakan
hak dengan tindakan ceroboh/lalai : Sifat kehati-hatian merupakan tuntutan dalam pengguanaan hak orang
lain. Sebab, jika ceroboh dalam penggunaan hak yang dapat merugikan orang
lain, tindakan tersebut termasuk tindakan sewenang-wenang yang tidak
diperbolehkan oeh syara’. Ada dua tindakan seseorang yang tidak
digolongkan dalam lalai dalam menggunakan hak ,
yaitu:
Ø Jika dalam menggunakan hak tersebut, menurut kebiasaan
tidak mungkin menghindarkan kemudaratan bagi orang lain. Misalnya, paramedik
yang melakukan tindakan operasi terhadap pasien. Mereka telah melakukannya
dengan ilmu kedoktera, akan tetapi akibatnya salah satu anggota badan dari
pasien menjadi tidak berfungsi.
Ø
Jika dalam menggunakan hak
telah dilakukan secara hati-hati, tetapi menimbulkan mudarat bagi orang lain,
maka tidak termasuk tindakan sewenang-wenang dan tidak dapat diminta
pertanggung jawabannya secara perdata.
H. Enam macam akibat hukum bagi yang mengunakan hak dengan sewenang-wenang
1. Menghilangkan segala bentuk kemudaratan
yang ditimbulkan oleh penggunaan hak secara sewenang-wenang.
2. Memberi ganti rugi atas kemudaratan yang
ditimbulkan atas penggunaan hak secara sewenang-wenang, jika kemudaratan
yang ditimbulkannya berhubungan denga nyawa dan harta.
3. Pembatalan tindakan sewenang-wenang tersebut atau
pembatalan akad
4.
Pelarangan penggunaan hak
secara sewenag-wenang.
5. Melakukan hukum ta’zir atas kesewenangan
para pejabat dalam menggunakan hak-nya.
6.
Memaksa pelaku kesewenangan
untuk melakukan sesuatu.
I. Pemindahan hak
Menurut ulama fiqh seorang pemilik hak
dibenarkan memindahkan hak-nya kepada orang lain, dengan ketentuan harus
berdasarkan syariat islam, baik yang menyangkut kehartabendaan, seperti jual
beli maupun yang bukan harta benda, seperti hak perwalian terhadap anak kecil.
J.
Berakhirnya suatu hak
Menurut ulama fiqh suatu hak hanya akan
berakhir sesuai dengan yang ditentukan oleh syara’. Misalnya hak-hak dalam
suatu perkawinan akan berakhir dengan terjadinya talak dan hak milik akan
berakhir dengan terjadinya jual beli.
C.
MACAM-MACAM HAK LAINNYA
q Haq
Milk
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang
berati penguasaan terhadap sesuatu atau sesuatu yang dimiliki, misalnya harta.
Milik juga dapat diartikan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui
oleh syara’, yang menjadikan pemiliknya dapat melakukan tindakan hukum terhadap
harta itu, kecuali adanya larangan syara’. Contohnya, karena tidak punya uang
Andi menyewakan sepeda motornya kepada Irham selama satu bulan. Kasus ini
berarti harta milik andi menjadi milik Irham ( pemanfaatannya , dengan
akad sewa-menyewa) selama satu bulan. Apabila, sebelum satu bulan Andi
mengambil motor miliknya secara sepihak, maka irham dapat melakukan tindakan
hukum, seperti menuntut ganti rugi. Adapun contoh yang lain dapat dilihat dari
masalah pengampuan.
Secara terminologi, Al-milk adalah pengkhususan seseorang terhadap suatu benda
yang memungkinkannya bertindak hukum terhadap benda itu ( sesuai
keinginan-keinginannya ), selama tidak ada halangan syara’. Dengan kata lain,
benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya,
sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan memanfaatkannya. Adapun
sebab-sebab timbulnya haqq milk adalah :
o Peguasaan terhadap
harta “harta bebas”
o At-Tawallud
( berkembang biak )
o
Al-Kalafiyah (
penggantian/waris, dll )
o Akad
q
Haq Al-Irtifaq
Di beberapa literatur fiqh muamalat haq Al-irtifaq di sebut juga dengan milk
al-manfaah al-‘aini. Secara etimologi irtifaq berarti pemanfaatan terhadap
sesuatu. Sedangkan terminologi dari hak irtifaq adalah :
“Hak
pemanfaatan benda tidak bergerak, baik benda itu milik pribadi atau milik
umum.”
Sebab-sebab
munculnya haq Al-irtifaq adalah :
o
Adanya ikatan kebersamaan ( al-Syirkah
Ammah )
o Adanya
kesepakatan pihak yang berakad
o
Adanya kesepakatan ketetanggaan
( kesepakatan Jaaru / Jiwar )
Adapun macam-macam haq irtifaq adalah
sebagai berikut :
1)
Haq as-Syurb adalah hak manusia atau hewan terhadap
air untuk memanfaatkannya. Dalam hak, ini ulama mambagai air kepada 4 macam :
a) air yang ditampung dalmam tempat khusus oleh pemiliknya, b) air sumur, c)
air sungai khusus yang melewati lahan pribadi tertentu atau pengairan yang
dibuat orang/kelompok tertentu, dan e) air sungai besar (umum). Dasar hukum hak
ini adalah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal,
at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, yang berbunyi :“Manusia itu berserikat dalam tiga
hal yaitu air, rumput, dan api.” {HR. Ahmad ibn Hanbal }
2)
Haq al-Majra adalah hak pemilik lahan yang jauh dari
aliran air untuk irigasi dalam rangka mengairi lahannya, baik melalui lahan
orang lain ataupun tidak. Dasar hokum dari hak ini adalah kasus antara
dua orang sahabat yang bertengkar dalam persoalan air, pemilik lahan yang dekat
dengan sumber air tidak mau mengalirkan air atau tidak mau lahannya dijadikan
aliran air ke lahan orang yang jauh dari sumber air. Ketika Umar bin Khattab
berupaya mendamaikan keduanya, pemilik lahn yang dekat dengan sumber air tetap
bersih keras dengan pendiriannya. Akhirnya Umar bin Khattab berkata :Ðemi Allah
saya akan mengalirkan air itu,sekalipun melalui perut engkau”, kisah ini
diriwayatkan imam malik dalam kitabnya,
al-Mumatta’ Juz II.
3) Haq
al-Masil adalah hak seseorang untuk menyalurkan kotoran, baik manusia atau
pun rumah tangga, ke penampungan atau saluran umum dengan mempergunakan selang
yang melalui jalan raya, lahan, rumah dan perusahaan milik orang lain.
Pemanfaatan hak ini tidak boleh mengganggu kemaslahatan orang lain. Maka dari
itu, pemilik hak berkewajiban memelihara atau mengamati secara intensif alat
yang dipergunakan untuk mengalirkan limbah tersebut.
4) Haq
al-Murur / ath-Thariq adalah hak seseorang untuk sampai kerumah atau
lahannya dengan melalui lahan orang lain, baik milik umum ataupun pribadi.
Misalnya, irham berjalan menuju rumahnya melawati depan rumah hamid. Ulama fiqh
membagi permasalahan dalam hak ini ke dalam 2 macam : a) apabila yang dilewati
jalan raya, maka semua orang dapat memanfaatkan jalan tersebut (melewati,
parkir, berjualan ) asalkan tidak menimbulkan mudharat pada orang lain,
b) apabila jalan yang dilewati adalah jalan khusus, boleh dipergunakan ketika
jalan raya sedang padat. Namun, tentunya pemilik hak harus menjaga agar jalan
tersebut tidak rusak sehingga dapat menimbulkan kemudharatan bagi orang lain.
5) Haq
at-Ta’ali adalah hak seseorang untuk tinggal di tingkat atas pada
perumahan bertingkat (aparteman, hotel) dan menjadikan loteng rumah orang di
tingkat bawah sebagai lantainya.
6)
Haq
al-Jiwar adalah hak seseorang untuk tinggak bersebelahan dengan tetangganya
disebabkan saling bertemunya batas milik masing-masing.
Para
ulama sepakat dalam keadaan seperti ini, masing-masing pemilik boleh
memeanfaatkan milik tetangganya, selama tidak membawa mudharat kepada
tetangganya itu
. Misalnya, dinding rumah menyatu, maka masing-masing
pihak boleh mempergunakan dinding tersebut untuk menggantung lukisan atau
perabotan lainnya.
q
Haq Al-Intifa’
Intifaq dalam bahasa arab berarti menggunakan, memanfaatkan atau memakai.
Sedangkan secara terminologi, defenisi dari Haqq Intifa’ adalah
kewenangan memanfaatkan, menggunakan, dan memakai sesuatu yang berada dalam
kekuasaaan atau milik orang lain, dan kewenangan itu terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yang disyariatkan. Misalnya, melalui jual beli dan sewa menyewa.
Munculnya Haqq Intifa’, menurut para ulama, bisa disebabkan oleh
beberapa hal. Hal-hal tersebut
tentunya selaras dengan apa yang ada dalam nash, yaitu :
1)
Al-I’arah ( Pinjam-meminjam ) / Ariyah . Para
ulama fiqh ( ulama hanafiyah dan malikiyah ) merumuskan defenisi dari Al-I’arah,
sebagai :
“ Pemilikan manfaat tanpa imbalan ganti
rugi”
Maksudnya,
seseorang memnberikan manfaat dari sebuah benda kepada orang lain tanpa meminta
imbalan selama benda tersebut berada di tangan orang yang meminjam. Implikasi
dari Al-I’arah adalah orang yang meminjam suatu benda, menjadi
pemilik manfaat dari benda tersebut. Hakikat dari Al-I’arah adalah
adalah hukum Ibahah (kebolehan) untuk memanfaatkan manfaat suatu benda.
Pembolehan mengandung arti manfaat benda yang dipinjam hanya berlaku bagi pihak
yang meminjam ( sebagai pihak kedua ) dan peminjam tidak diperbolehkan untuk
meminjamkan , atau bahkan menyewakan, manfaat benda yang ia pinjam kepada pihak
ketiga.. Pendapat ini muncul dari ulama kalangan Syafi’iyah dan
Hanabilah.
2)
Al-Ijarah ( Sewa-menyewa ). Berbeda dengan Al-I’arah,
pada Al-Ijarah pihak yang memberi pinjaman dibolehkan meminta imbalan
ganti rugi selama benda tersebut itu dipergunakan oleh orang lain. Hal
ini sesuai dengan defenisi Al-Ijarah yang dikemungkakan oleh para ulama
fiqh, yaitu :
“
Pemilikan manfaat dengan imbalan ganti rugi”
Bila dijelaskan dalam Al-I’arah tadi bahawa
pihak yang meminjam barang tidak boleh meminjamkannya kembali, maka berbeda
dalam Al-Ijarah , menurut jumhur ulama fiqh, pihak penyewa diperbolehkan
untuk menyewakan kembali kepada pihak ketiga selama pihak kedua memanfaatkan
sebagai hak yang diberikan pihak pertama ( pemberi sewa ). Artinya, apabila
seseorang menyewa mobil untuk mengangkut sayur-mayur, maka ia juga boleh
menyewakan mobil tersebut kepada pihak ketiga (orang lain ) untuk mengangkut
sayur-mayur juga, tidak untuk mengangkut selainnya, seperti batu, kayu dan
semen. Tentunya pihak yang menyewa baik pihak kedua dan ketiga harus bisa
menggunakan mabil itu daengn baik sehingga tidak timbul kerusakan, pada mobil,
yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak-pihak yang berakad.
3)
Al-Waqf ( Wakaf ). Para
ulama mendefenisikan wakaf dengan :
“ Penyerahan manfaat sesuatu kepada orang
lain untuk dimanfaatkan”
Orang yang
menerima wakaf, menurut kesepakatan ulam fiqh, mempunyai hak untuk memanfaatkan
harta yang diwakafkan itu untuk dirinya sendiri. Dia tidak berhak mengalihkan
manfaat itu kepada orang lain. Jika ia mengalihkan manfaat itu kepada orang
lain, maka akadnya dipandang tidak sah, kecuali jika pihak yang mewakafkan
mengizinkannnya. Akan tetapi menurut mereka apabila secara adat ( urf )
orang lain boleh memanfaatkanya, maka orang selain yang menerimanya juga boleh
memanfaatkan benda wakaf tersebut. Misalnya, apabila sebuah yayasan menerima
wakaf sebuah rumah, maka disamping dimanfaatkan oleh yayasan itu, pihak yayasan
juga boleh menyewakan rumah tersebut kepada orang lain yang hasilnya nanti
dapat digunakan untuk kemaslahatan umum.
4)
Al-Wasiat bi
al-Manfaat ( Wasiat
dengan manfaat ). Maksud dari kata ini adalah seseorang yang memberikan suatu
benda kepada orang lain untuk dimanfaatkan setelah ia wafat. Ketentuan bentuk
hak ini hampir sama dengan bentuk wakaf. Namun apabila pemilik wasiat
mewasiatkan benda kepada orang lain dengan jangka waktu tertentu, maka setelah
jangka waktu itu terlewati, ahli waris dari orang yang mewasiatkan berhak
mengambil manfaat, karena benda yang diwasiatkan telah menjadi hak milik yang
telah diwarisi. Misalnya, baopak irham mewasiatkan tanahnya untuk dipakai
bercocok tanam selama satu tahun, maka setelah satu tahun terlewati ahli waris
dari keluarga irham berhak atas tanah tersebut.
5)
Al-Ibahah ( Pembolehan ). Yang dimaksud dengan Al-Ibahah
adalah kebolehan atau keizinan yang diberiakn seseorang kepada orang lain untuk
memanfaatkan suatu benda yang dimilikinya. Misalnya, irham membolehkan anton
untuk memakan buah jambu yang ada dirumah irham atau hamid mengizinkan rudi
untuk menggunakan mobilnya untuk satu hari. Bentuk Haqq Intifa’ yang
kelima ini hampir sama dengan Al-I’arah dan Al-Ijarah.
Perbedaannya adalah Al-I’arah dan Al-Ijarah memiliki akad
masing-masing sedangkan Al-Ibahah hanya merupakan sebuah kebolehan,
bukan akad.
Para ulama fiqh membagi Al-Ibahah kepada
dua macam, yaitu :
i)
Pembolehan yang
bersifat umum. Maksudnya memberikan pembolehan kepada setiap orang atau
bersifat untuk umum. Misalnya, membolehkan orang lain melintas dijalan
raya.
ii)
Pembolehan yang bersifat khusus. Berlawanan dengan diatas,
macam yang kedua ini hanya memberikan pembolehan untuk orang-orang tertentu
saja. Dengan kata lain tidak memberi
hak kepada orang ketiga untuk memanfaatkan benda. Misalnya, irham hanya
mengizinkan hamid untuk menggunakan motornya, berati selain hamid tidak
diperbolehkan menggunakan motor irham, walaupun orang itu yang akan menggunakan
motor tersebut termasuk teman irham juga.
q
Perbedaan antara Haq
Al-Irtifaq dan Haq Al-Intifa’
-
Haq al-irtifaq hanya berlaku pada benda tidak bergerak,
seperti lahan, rumah dan sumur. Sedangkan Haq al-Intifa’ mengkhususkan
pemanfaatan benda itu pada pribadi tertentu, seperti hak pemanfaatan benda oleh
orang yang memimjam atau meyewa benda itu. Jika ia wafat maka hak ini pun
habis.
-
Haq al-irtifaq selamanya terkait dengan benda tidak
bergerak, sedangkan Haq al-Intifa’ boleh benda tidak
bergerak ( Ali menjual sebidang tanah miliknya ) dan juga boleh benda bergerak.
-
Haq al-irtifaq tidak habis dengan wafatnya seseorang, karena para
ulama sepakat mengatakan bahwa hak ini boleh diwarisi. Adapun Haq al-Intifa’
akan habis dengan wafatnya seseorang ,seperti seseorang yang diberi
wasiat untuk memanfaatkan sebidang tanah. Apabila ia wafat, maka hak
pemanfaatan ini tidak boleh diwarisi ahli warisnya.
- Haq al-irtifaq,menurut ulama Hanafiyah, bukanlah harta. Oleh
sebab itu, tidak boleh diperjual belikan terpisah dari asalnya, tidak boleh
dihibahkan, tidak boleh dijadikan ganti rugi harta dan tidak boleh dijadikan
mahar. Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa hak ini boleh diwariskan dan
diwasiatkan. Apabila seseorang menjual lahannya, maka ia boleh menjual lahan
itu, tapi haq al-irtifaq tetap berlaku sebagaimana sebelumnya. Hak-hak
ini tidak termasuk dalam materi jual beli, kecuali dinyatakan secara jelas pada
waktu akad.
q
Gasb (Mengambil yang
bukan Haq-nya )
Secara etimologi, al-gashb berarti
mengambil sesuatu secara zalim, atau secara paksa dengan terang-terangan.
Secara terminologi, ada tiga defenisi yang dikemungkakan oleh ulama fiqh :
1. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa Gashb
adalah mengambil harta yang bernilai menurut syara’ dan dihormati tanpa seizing
pemiliknya sehingga harta itu berindah tangan dari pemiliknya.
2. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Gashb adalah mengambil harta orang lain secara sewenag-wenang dan
secara paksa, tetapi bukan dalam artian merampok.
3. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah penguasaan terhadap
harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Adapun bentuk hukuman yang
diberikan bagi peng –gashb, menurut ulama fiqh ada tiga, yaitu :
1.
Pelaku dikenakan dosa
2. Wajib mengembalikan, apabila barang tersebut masih
utuh.
3. Apabila barang itu rusak atau hilang karena
pemanfaatan, maka pelakunya dikenakan ganti rugi.
KONSEP HAK DALAM
ISLAM
KONSEP HAK DALAM ISLAM
A. Definisi Hak Dalam Islam.
Hak yang dari
bahasa Arabnya al-haqq memiliki pengertian yang berbeda,kita bisa lihat dari
beberapa kutipan ayat al-Quran di bawah ini :
1. Hak itu merupakan “milik” atau
“ketetapan”.
Artinya :
Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap
kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. (QS. Yasin : 7).
2. Hak itu di artikan sebagai
“kewajiban”.
Artinya : agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil
(syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musrik) itu tidak menyukainya. (QS.
Al-Anfal : 8)
3. Hak itu dapat pula diartikan
sebagai “kebenaran”.
Artinya : Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki
kepada kebenaran?” (QS. Yunus : 35).
Selain dari al-Quran terdapat pula beberapa Ulama yang mendefinisikan arti
“al-Haqq” antara lain :
Mustafa Ahmad az-Zarqa mendefinisikan hak itu sebagai “Suatu kekhususan yang
padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan”
B. Rukun-Rukun Hak
Menurut para ulama fiqh rukun hak tersebut di bagi menjadi dua,yaitu pemilik
hak (orang yang memiliki hak) dan objek hak (baik merupakan sesuatu yang
bersifat materi ataupun hutang). Pemilik hak adalah Allah swt mengenai semua
hal yang menyangkut hak-hak keagamaan,pribadi ataupun hukum.
Hak ada kalanya merupakan sulthah, adakalnya merupakan taklif.
a). Sulthah terbagi menjadi dua, yaitu : Sulthah ‘ala al nafsi : hak seseorang terhadap jiwa. Sulthah ‘ala syai’in
mu’ayan : hak manusia untuk memiliki sesuatu.
b) Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan
pribadi ( ‘adah syakhsyiyah ), adakalnya tanggungan harta ( ahdah maliyah ).
C. Pengakuan Al Qur’an Terhadap
Hak Individu.
Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah. Manusia memilikinya hanya
sementara, semata-semata sebagai suatu amanah atau pemberian Allah. Manusia
menggunakan harta berdasarkan kedudukanya sebagai pemegang amanah bukan sebagai
pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan
dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat
mempertanggung jawabkanya dihadapan Allah SWT.
Dalam islam, kewajiban datang terlebih dahulu baru setelah itu hak. setiap
individu memiliki kewajiban tertentu. Dan sebagai hasil dari pelaksanaan
kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu.
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang hak kepemilikan pribadi, ada hak-hak
umum yang harus dipenuhi :
Artinya : Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Adzariat : 19)
Artinya : Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.(al isra’ : 26)
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa islam mengakui hak milik pribadi dan
menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal.
Islam melarang setiap orang mendzalimi dan merongrong hak milik orang lain
dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang
lemah, seperti anak yatim dan wanita.
D. Tipe-Tipe Hak Dalam Islam.
Dalam pengertian umum, hak dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu mal dan
ghoiru mal.
1. Hak mal adalah :
“Sesuatu yang berpautan dengan harta seperti pemilikan benda-benda atau utang”
2. Sedangkan hak ghoiru mal terbagi kepada dua bagian yaitu hak syakhshi dan
hak ‘aini.
a) Hak syakhshi adalah :
“ Suatu tuntutaan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain”.
b) Hak ‘aini adalah :
Hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua
macam : ashli dan thab’i. Hak ‘aini ashli adalah adanya wujud benda tertentu
dan adanya shahub al haq seperti hak mulkiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i
ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang mengutangkan uangnya atas
yang berhutang.
Macam-macam hak ‘aini adalah sebagai berikut:
1) Hak al milkiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Dia boleh
memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskanya, merusaknya, dan
membinasakanya dengan syarat tidak menimbukan kesulitan bagi orang lain.
2) Hak al
intifa’ ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya.
3) Haq al
irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas
kebun yang lain,
yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama.
4) Haq al istihan
adalah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan
5) Haq al
ihtibas ialah hak menahan suatu benda.
6) Haq qarar
(menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetap atas tanah wakaf adalah :
Haq al hakr ialah hak menetap diatas tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama
dengan seizin hakim. Haq al ijaratain ialah hak yang diperoleh karena ada akad
ijarah dalam waktu yang lama dengan seizing hakim atas tanah wakaf yang tidak
sanggup dikembalikan kedalam keadaan semula. Haq al qadar ialah hak menambah
bangunan yang dilakukan oleh penyewa. Haq al marshad ialah hak mengawasi atau
mengontrol.
7) Haq al murur.
8) Hak ta’ali
ialah hak manusia untuk menempatkan bangunanya diatas bangunan orang lain.
9) Haq al jiwar
ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat
tinggal.
10) Haq syafah
atau haq syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum sendiri dan
untuk diminum binatangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya.
E. Ruang Lingkup Hak Dalam Islam.
Milk yang di bahas dalam fiqih muamalah secara garis besar dapat dibagi menjadi
2 bagian, yaitu sebagai berikut :
Milk tam yaitu
suatu kepemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk
benda dan kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh dengan banyak
cara misalnya jual beli.
Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda
tersebut. Memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki manfaatnya
saja tanpa memiliki zatnya. Milk naqishah yang berupa penguasaan terhadap zat
barang (benda) disebut milk raqabah. Sedangkan milk naqish yang berupa
penguasaan terhadap kegunaanya saja disebut milk manfaat/hak guna pakai.
Dilihat dari segi mahal (tempat) milik dibagi menjadi 3 bagian :
Milk al ‘ain atau milk al raqabah, yaitu memiliki semua benda baik benda tetap
(ghair manqul) maupun benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul) seperti
pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil, motor dll.
Milk manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu
benda. Seperti benda hasil meminjam, wakaf dll.
Milk al dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang. Misalnya sejimlah uang yang
dipinjamkan kepada seseorang/pengganti benda yang dirusakkan.
Dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki) milik dibagi
menjadi dua bagian yaitu :
Milk al mutamayyiz. “Sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki
batasan-batasan yang dapat memisahkanya dari yang lain”. Misalnya : antara
sebuah mobil dan seekor kerbau.
Milik al sya’i atau milik al musya yaitu : “Milik yang berpautan dengan sesuatu
yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapa besar/betapa kecilnya kumpulan itu”.
Misalnya memiliki seekor sapi yang dibeli oleh 40 orang, untuk disembelih dan
dibagikan dagingnya.
REFERENSI
Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2002
http://74.125.153.132.dimel2002.multiply.com/journal/item/IIkedudukan hak milik
dalam islam.
Haroen,Nasrun.2007.fiqih muamalah.jakarta:Gaya
media pratama.
Mas’adi Ghufron A. 2002. fiqih muamalah kontenporer. Jakarta:PT raja grafindo persada.
http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/?p=164